Powered By Blogger

Jumat, 17 Oktober 2008

Motivasi

Malaikat Pelindung

Suatu ketika, ada seorang bayi yang siap untuk dilahirkan. Maka, ia bertanya kepada Tuhan. “Ya Tuhan, Engkau mengirimku ke bumi. Tapi, aku takut, aku masih sangat kecil dan tak berdaya. Siapakah nanti yang akan melindungiku disana?”

Tuhanpun menjawab. “ Diantara semua malaikat-Ku, Aku akan memilih seorang yang khusus untukmu. Dia akan merawatmu dan mengasihimu.” Si kecil bertanya lagi, “Tapi, disini, di surga ini, aku tak berbuat apa-apa, kecuali tersenyum dan bernyanyi. Semua itu cukup membuatku bahagia. Tuhanpun menjawab, “ Tak apa, malaikatmu itu, akan selalu menyenandungkan lagu untukmu, dan dia akan membuatmu tersenyum setiap hari. Kamu akan merasakan cinta dan kasih sayang, dan itu semua pasti akan membuatmu bahagia.“ Namun si kecil bertanya lagi, “Bagaimana aku bisa mengerti ucapan mereka, jika aku tak tahu bahasa yang mereka pakai?”

Tuhanpun menjawab, “Malaikatmu itu , membisikkanmu kata-kata yang paling indah, dia akan selalu sabar ada di sampingmu, dan dengan kasihnya, dia akan mengajarkanmu berbicara dengan bahasa manusia. “Si kecil bertanya lagi, “Lalu, bagaimana jika aku ingin berbicara padamu, ya Tuhan?”

Tuhanpun menjawab kembali, “Malaiktamu itu, akan membimbingmu. Dia akan menengadahkan tangannya bersamamu, dan mengajarkanmu untuk berdoa.” Lagi-lagi, si kecil menyelidik, “Namun, aku mendengar, disana, ada banyak sekali orang jahat, siapakah nanti yang akan melindungiku?”

Tuhanpun menjawab, “Tenang, malaikatmu, akan terus melindungimu, walaupun nyawa yang menjdai taruhannya. Dia, sering akan melupakan kepentingannya sendiri untuk keselamatanmu.” Namun, si kecil kini malah sedih, “Ya Tuhan, tentu aku akan sedih jika tak melihat-MU lagi.”

Tuhan menjawab lagi, “Malaikatmu, akan selalau mengajarkan keaguangan-Ku, dan dia akan mendidikmu, bagaimana agar selalu patuh dan taat pada-Ku. Dia akan selalu membimbingmu untuk selalu mengingat-Ku. Walau begitu, Aku akan selalu ada disisimu.”

Hening. Kedamaianpun tetap menerpa surga. Namun, suara-suara panggilan dari bumi terdengar sayup-sayup. “Ya Tuhan, aku akan pergi sekarang, tolong, sebutkan nama malaikat yang akan melindungiku.....”

Tuhanpun kembali menjawab. “Nama malaikatmu tak begitu penting. Kamu akan memanggilnya dengan sebutan : Ibu....”



Garam dan Telaga


Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedaqng dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.

Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya...” ujar Pak Tua itu.

“Pahit. Pahit sekali”, jawab sang tamu, sambil meludah ke samping.

Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggan garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-ngaduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. “Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi, “Bagaimana rasanya?”.

“Segar.”, sahut tamunya. “Apakah kamu mersakan garam di dalam air itu ?”, tanya Pak Tua lagi. “Tidak”, jawab si anak muda.

Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.”

“Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”

Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasihat. “Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”

Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan “segenggam garam”, untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar